Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
4 min readSeputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
KEMBAR99.NET – 1 Oktober 1965 pukul 00.00, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto baru saja meninggalkan RSPAD Gatot Subroto untuk pulang ke rumahnya di Jalan Abdul Muis. Dua hari sebelumnya, putra bungsunya yang baru berumur empat tahun, Hutomo Mandala Putra atau Tommy, ketumpahan kuah sop sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Di Istana Merdeka, sekitar pukul 00.45, Presiden Soekarno mengganti seragam militernya dengan baju lengan pendek. Beberapa jam sebelumnya, Soekarno menghadiri Musyawarah Besar Ahli Teknik di Istora Senayan. Ia didampingi istrinya Haryati. Sebelum berangkat, ia menelepon Haryati.
Perempuan itu baru tiba di kediamannya di bilangan Slipi dikawal seorang perwira Detasemen Kawal Pribadi Tjakrabirawa. Di telepon, Soekarno meminta Haryati tidur sendiri dan tidak usah menunggunya. “Hati-hati ya, suasana di luar kok terasa kurang menyenangkan, entah ada apa…” kata Soekarno kepada Haryati seperti dicatat Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa? (2013). Usai salin dan menelepon Haryati, Soekarno berangkat ke Hotel Indonesia untuk menjemput istrinya yang lain, Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi.
Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
Setelah menjemput Dewi dari resepsi di Hotel Indonesia, pukul 01.15, Soekarno bermalam di kediaman Dewi di Wisma Yaso yang kini jadi Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto. Keduanya makan pizza dan main kartu sampai sekitar jam 02.00. Kesaksian Untung Di waktu yang sama, Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri menuju Lubang Buaya untuk inspeksi. Dini hari itu, Untung memimpin upaya kudeta yang akan mengubah garis sejarah. Kudeta yang awalnya diberi nama Operasi Takari itu diubah di saat akhir menjadi Gerakan 30 September agar tidak berbau militer. Kata Untung, Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit memerintahkan agar pelaksanaannya ditunda menjadi tanggal 1 Oktober sampai pasukan siap dan lengkap. Menjelang pelaksanaan, nama Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dicoret dari sasaran.
Tujuannya, kata Untung, untuk menyamarkan kudeta sebagai konflik internal. Untung membagi eksekutor ke dalam tiga satuan tugas. Satgas Pasopati pimpinan Letnan I (Inf) Abdul Arief dari Resimen Tjakrabirawa bertugas menangkap tujuh jenderal yang jadi sasaran. Satgas Bimasakti dipimpin Kapten (Inf) Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530/Brawijaya, bertugas mengamakan Ibu Kota dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Studio RRI Pusat.
Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
Terakhir, satgas Pringgodani di bawah kendali Mayor (Udara) Soejono, bertugas menjaga basis dan wilayah di sekeliling Lubang Buaya, yang rencananya akan jadi lokasi penyanderaan para jenderal. Usai memeriksa kesiapan di Lubang Buaya, Untung bersama bawahannya Kolonel (Inf) Latief, bergerak ke Gedung Biro Perusahaan Negara Aerial Survey (Penas) di Jalan Jakarta By Pass (kini Jalan Jend. A Yani), Jakarta Timur. Sehari-hari, gedung itu disewa Angkatan Udara (AURI). Namun di malam senyap itu, Soejono menyiapkan Gedung Penas sebagai Central Komando (Cenko) I untuk memantau jalannya operasi penangkapan para jenderal. Julius Pour mencatat, operasi penculikan di bawah Untung direncanakan secara serampangan. Banyak yang akan dilibatkan, tak jadi datang. Jumlah pasukan kurang dari 100 personel,
Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
jauh dari yang diharapkan mampu memantik revolusi. Yang berikutnya terjadi persis yang dikhawatirkan Untung. Penculikan berubah jadi serangan berdarah. Tangkap, hidup atau mati Pukul 03.30, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Sersan Kepala Bungkus mengingat pasukannya yang terakhir diberangkatkan dari Lubang Buaya. Ia khawatir, alokasi 15 sampai 20 menit untuk meluncurkan penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, tak akan cukup. “
Saya sendiri berpikir kok hanya 20 menit, peluangnya pasti singkat sekali? Meski begitu saya tidak lupa. Perintahnya jelas, saya mendengar langsung dari Letnan I Abdul Arief, ‘…tangkap sasaran, hidup atau mati’,” kata Bungkus. Sesampai di kediaman Yani di Jalan Lembang, Menteng, Jakata Pusat, Bungkus dan rekan-rekannya segera meminta Yani ikut dengan alasan akan dibawa ke hadapan presiden. Yani pun meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian.
Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
Namun karena gugup, Mardiah salah membuka pintu. Mardiah yang menggendong Ade Irma disambut rentetan tembakan. Peluru menembus Ade Irma dan merenggut nyawa gadis itu. Selain Ade Irma, ajudan Nasution, Kapten Czi. Pierre Andries Tendean juga tewas ditembak karena dikira Nasution. Nasution sendiri berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang. Memasuki fajar, seluruh pasukan G30S kembali ke Lubang Buaya.
Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno kebingungan ketika para prajurit menurunkan empat orang yang terikat dan ditutup matanya, serta tiga mayat. Padahal, Letkol (Inf) Untung Samsoeri mengatakan, “…tangkap mereka, akan kita hadapkan kepada Paduka Yang Mulia (Soekarno).” Gatot bingung apa yang akan dihadapkan ke Presiden jika sasaran sudah meningal. “Saya segera menghubungi Mayor (Udara) Soejono, Komandan Satgas Pringgidani di Cenko I, minta petunjuk, bagaimana menangani kondisi baru yang menyimpang dari skenario awal tersebut,” kata Gatot.
Seputar G30S/ PKI (1): Sejarah yang Kita Kenal, Fakta atau Rekayasa?
Bungkus dan rekan-rekannya menolak permintaan itu dan marah. Yani menampar salah satu prajurit dan mencoba menutup pintu rumahnya. Salah satu prajurit melepaskan tembakan, dan mengenai Yani hingga membunuhnya. Masih di kawasan Menteng, tepatnya di Jalan Teuku Umar, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak bisa tidur nyenyak. Nyamuk mengerubunginya meski tempat tidurnya sudah dilengkapi kelambu. Nasution tidur bersama istrinya Johana Soenarti dan putri bungsunya yang belum genap lima tahun, Ade Irma Suryani. Menjelang pukul 04.00, mereka terbangun. Ada suara kendaraan datang dan bunyi tembakan. Pintu rumah dibuka paksa. Johana segera mengecek apa yang gerangan terjadi. Tak lama,
Johana kembali ke kamar dan mengunci pintu sambil berbisik, “…ada Tjakrabirawa, kamu jangan keluar.” Ade Irma yang terbangun memeluk kaki ibunya. Nasution tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia pun membuka pintu untuk memastikan kendati sudah ditahan istrinya. “Saya tetap membuka pintu kamar tidur. Di depan pintu, dalam jarak satu setengah meter, tampak seorang prajurit Tjakrabirawa yang langsung melepaskan tembakan. Otomatis pintu saya tutup dan segera tiarap,” kata Nasution. Mendengar kegaduhan, adik Nasution, Mardiah, terbangun. Ia berusaha menyelamatkan Ade Irma dengan menggendongnya ke kamar lain.